Memandu Al Qur'an dimasa Nabi Muhammad saw
Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah satu bangsa yang huruf besar, sangat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca, mereka belum mengenal kertas sebagai kertas yang di kenal sekarang, perkataan "Al waraq" (daun) yang lazim pula di pakaikan dengan arti " kertas "di masa itu saja di pakaikan pada daun kayu saja
Menyediakan kata "Al qirthas" yang dari pada nya terambil kata-kata Indonesia "kertas" di pakaikan oleh mereka itu untuk benda-benda yang mereka gunakan untuk di tulis yaitu, kulit binatang, batu yang membelah dan licin, pelepah tamar (kurma), tulang binatang dan lain-lain sebagainya.
Setelah mereka menaklukan negeri Persia, yaitu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw melihat barulah mereka tersebut. Orang persia menamai kertas dengan sebutan "kaqhid", maka di pakailah kata-kata kaqhid ini untuk kertas oleh bangsa Arab semenjak itu.
Saat sebelum masa Nabi atau di masa Nabi, kata-kata "Al kaqhid" tidak ada dalam bahasa Indonesia, atau dalam hadist-hadis Nabi, kemudia kata-kata "al qirthas" itupun di pakai pula oleh bangsa Arab kepada apa yang di namakan kaqih dalam bahasa Persia itu.
Kitab atau buku tentang apapun, juga belum ada pada mereka, kata-kata "kitab" di masa itu hanya berarti sepotong kulit, batu atau tulang dan sebagainya yang telah ditulis, atau berarti surat seperti kata "kitab" dalam ayat 28 surat An Naml
اذْهَبْ بِكِتَابِي هَذَا فَأَلْقِهِ إِلَيْهِمْ ثُمَّ تَوَلَّ عَنْهُمْ فَانْظُرْ مَاذَا يَرْجِعُونَ (٢٨
Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah satu bangsa yang huruf besar, sangat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca, mereka belum mengenal kertas sebagai kertas yang di kenal sekarang, perkataan "Al waraq" (daun) yang lazim pula di pakaikan dengan arti " kertas "di masa itu saja di pakaikan pada daun kayu saja
Setelah mereka menaklukan negeri Persia, yaitu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw melihat barulah mereka tersebut. Orang persia menamai kertas dengan sebutan "kaqhid", maka di pakailah kata-kata kaqhid ini untuk kertas oleh bangsa Arab semenjak itu.
Saat sebelum masa Nabi atau di masa Nabi, kata-kata "Al kaqhid" tidak ada dalam bahasa Indonesia, atau dalam hadist-hadis Nabi, kemudia kata-kata "al qirthas" itupun di pakai pula oleh bangsa Arab kepada apa yang di namakan kaqih dalam bahasa Persia itu.
Kitab atau buku tentang apapun, juga belum ada pada mereka, kata-kata "kitab" di masa itu hanya berarti sepotong kulit, batu atau tulang dan sebagainya yang telah ditulis, atau berarti surat seperti kata "kitab" dalam ayat 28 surat An Naml
اذْهَبْ بِكِتَابِي هَذَا فَأَلْقِهِ إِلَيْهِمْ ثُمَّ تَوَلَّ عَنْهُمْ فَانْظُرْ مَاذَا يَرْجِعُونَ (٢٨
Artinya: "Pergilah dengan membawa suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka kemudian berpalinglah dari mereka lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan"
Begitu juga "kutub" (jama' kitab) yang di kirimkan oleh Nabi kepada raja-raja di masa nya, untuk menyeru mereka kepada Islam, karena mereka belum mengenal kitab atau buku seperti yang di kenal sekarang,
Sebab itu di waktu Al Qur'an nulkarim di bukukan di masa khalifah Utsman bin 'Affan, mereka tidak tahu dengan apa Al Qur'an yang telah di bukukan itu di namai, bermacam-macam pendapat sahabat tentang nama yang harus di berikan, akhirnya mereka sepakat dengan menamainya "Al Mushhaf" (Ism maf'ul dari ashhafa, dan ashhafa artinya mengumpulkan ( shuhuf) jamak dari shahifah, lembaran-lembaran yang telah bertulis
Kendatipun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tetapi mereka mempunyai ingatan yang amat kuat pegangan mereka dalam meriwayatkan sya'ir-sya'ir dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka ansab (silsilah keturunan) mereka, peperangan-peperangan yang terjadi antara mereka peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan lain-lain sebagainya adalah kepada hafalan semata.
Demikianlah keadaan bangsa Arab di waktu kedatangan agama Islam itu, maka di jalankanlah oleh Nabi suatu cara yang 'amali (praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Al Qur'annul Karim dan memeliharany,
Tiap-tiap turunnya ayat-ayat itu Nabi menyuruhnya menghafal dan menyuruhnya menuliskannya di batu, kulit binatang, pelepah tamar dan apa saja yang bisa di susun dalam sesuatu surat. Nabi menerangkan tertib urutan ayat-ayat itu.
Nabi mengadakan peraturan yaitu Al Qur'an sajalah yang boleh di tuliskan, selain dari Al Qur'an, Hadist atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi, dilarang menuliskannya, larangan ini dengan maksud supaya Al Qur'annul Karim itu terpelihara, jangan campur aduk dengan yang lain-lain yang juga di dengar Nabi
Nabi menganjurkan supaya Al Qur'an itu di hafal, selalu di baca dan di wajibkannya membacanya dalam sholat, dengan jalan demikian banyaklah orang yang hafal Al Qur'an surat yang satu macam di hafal oleh ribuan manusia, dan banyak yang hafal Al Qur'an dalam pada itu tidak ada satu ayatpun yang tidak di tuliskan, kepandaian menulis dan membaca itu di hargai dan di gembirakan oleh Nabi beliau berkata :
" Di akhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan di timbang dengan darah syuhada (orang-orang yang mati syahid)".
Pemeliharaan Kemurnian Al Qur'an di Masa Nabi Muhammad saw
4/
5
Oleh
femoss